Langsung ke konten utama

Menyulap Jati Bekas Menjadi Mebel Inlay

Hanya mengandalkan keahliannya melukis dan mengukir, ia mampu menyulap kayu jati bekas menjadi seperangkat mebel dengan motif ukiran khas. Sayangnya, hasil kreasinya yang sempat melanglang mancanegara, kini harus kembali menggarap pasar domestik setelah terimbas Bom Bali I.

Kayu jati bekas rumah kuno ternyata bisa didayagunakan. Justru berawal dari me-lelesi barang lawas ini, Nurrohman, 45, mampu eksis hingga saat ini sebagai perajin mebel ukir, mulai kursi, meja, ranjang hingga lemari.

Menurut warga Desa Pocong, Kecamatan Trageh ini, kayu jati bekas dari rumah-rumah kuno yang ada di Madura mempunyai daya tarik tersendiri untuk dijadikan perangkat mebel. “Tambah tua, jati itu semakin kuat. Karena sudah sangat kering betul,” ujar Nurrohman.

Awal 1994, ia mencoba mengumpulkan kayu jati bekas dari salah satu rumah kerabatnya, untuk dibentuk menjadi sebuah lemari. Bermodal keahlian melukis dan mengukir, Nurrohman mulai memberi sentuhan berupa gambar motif ukir.

Namun, usahanya tidak berjalan lancar. Pasalnya, bahan yang digunakan untuk menggambar pada lemari buatannya, luntur. Ia memutuskan membuat ukiran menggunakan alat menyerupai pisau kecil yang disebut pahat kayu. Pahat inilah yang dijadikan ‘pena’ untuk mengukir dengan kedalaman mencapai dua milimeter.

“Di bekas pahatan yang dijadikan motif ukiran itu kami masukkan kayu tipis. Sehingga, motif ukiran akan nampak rata dan tidak muncul benjolan di permukaan kayu,” jelas Nurrohman.

Menurut bapak tiga putra ini, ukiran jenis ini hanya terdapat di pulau Madura. Tepatnya di Desa Pocong, Kecamatan Trageh, Bangkalan. “Di Jepara ada. Hanya motifnya yang mirip. Sedangkan tekniknya beda. Di sana menggunakan dempol mobil untuk bahan motif ukiran,” tuturnya.

Hasil kreasinya ternyata banyak menarik minat warga sekitar. Meski begitu, ia mengaku belum mempunyai sebutan yang pas untuk ukiran dengan teknik seperti itu. Dalam benaknya, yang ada hanya memproduksi pesanan warga sekitar yang mulai suka dengan gaya dan teknik ukirannya.

Nama inlay yang akhirnya dilekatkan pada produknya, itu pun terjadi secara kebetulan. Bermula ketika ia kedatangan beberapa wisatawan asing yang mengunjungi rumahnya untuk melihat langsung pembuatan mebel ukirannya.

Salah seorang turis yang terlihat tertarik, memelototi motif kembang yang terpasang pada lemari jati milikya. “Ia (turis, Red) tidak percaya bahwa motif bunga itu ditancapkan ke permukaan kayu. It’s a lie (sebuah kebohongan). Dasar saya tidak bisa bahasa Inggris, saya dengarnya inlay. Ya udah, ukirannya saya namakan inlay,” jelas Nurrohman, yang masih terkenang dengan para turis itu.

Sejak itu, usaha ukiran inlay miliknya terus meningkat. Bahan baku datang dari warga yang menjual kayu jati bekas rumah kepadanya. Meski demikian, ia sering kewalahan mencari bahan baku karena banyaknya permintaan. Bisa dibayangkan, dalam sebulan, ia bisa mengirimkan satu truk ke Bali senilai Rp 60 juta. “Saya punya mitra di Bali. Mereka menjual ke Eropa dan ke Amerika,” katanya.

Soal pegawai, ia mengaku tidak mengalami kesulitan. Ini karena 90 persen warga desanya adalah perajin ukiran inlay. Akan tetapi, mereka sekarang tidak bekerja karena pesanan sedang menurun. “Saat ini hanya 10 orang saja. Tapi jika banyak pesanan, bisa lebih dari 30 orang,” ujar perajin yang belum membuka gerai khusus untuk usahanya.

Usahanya tidak selamanya lancar. Ketika bom Bali I mengguncang pada 2001, pesanan dan pengiriman mebel ukirannya terhambat. Semua mitranya di Bali banyak menghilang. Agar usahanya tetap jalan, kini ia kembali melayani pesanan lokal atau dari dalam Madura.

“Dalam sebulan, ia mampu menyelesaikan satu set untuk satu jenis produk. Per set bisa terjual Rp 5 hingga 5,5 juta,” ujarnya. Satu set terdiri dari kursi tamu tiga dudukan, dua dudukan dan satu dudukan, beserta satu meja.

Selain perangkat kursi tamu, Nurrohman juga menjual satu unit lemari ukiran inlay yang dijual Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per unit. Sedang satu unit sofa, ia jual Rp 2 juta per unit. Ia mengakui, modal untuk pengembangan usaha menjadi kendala utamanya, di luar peralatan yang serba tradisional. surya.co.id

Postingan populer dari blog ini

Sempat Dilarang Usaha, Kini Sehari Ciptakan 30 Item

Membidik pasar segmen wanita tentu bukan langkah yang salah. Pasalnya, hampir setiap wanita ingin terlihat lebih cantik dan modis. Ini pula yang disasar Oky Mia Octaviany, perajin aksesoris yang sukses masuk di segmen tersebut. Saat ini, beragam aksesoris seperti, bros, gelang, tas, anting, serta hiasan jilbab buatannya, banyak dikenal pembeli baik dari Jatim, luar pulau, bahkan hingga pasar ekspor ke Arab Saudi dan Eropa. Meski sebetulnya usaha yang ia jalankan berangkat dari kegagalannya merintis usaha sebelumnya. Wanita kelahiran Surabaya, Oktober 1971 lalu itu, memang pernah mencoba berbisnis makanan. Namun usaha itu ternyata hanya bertahan setahun. Itu membuat dia dilarang sang suami, Banyon Anantoseno, untuk menggeluti usaha. “Saya pun merenung ternyata kegagalan itu akibat saya tidak suka masak. Oleh karena itu, saya mencoba menggeluti lading bisnis lain yang selama ini saya sukai,” papar Oky ditemui di rumah sekaligus workshop-nya di kawasan Sidosermo Surabaya. Tahun 2

Peluang Usaha Kreatif Daur Ulang Limbah

Banyaknya limbah atau sampah yang setiap harinya diproduksi masyarakat, menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang ada di sekitar mereka. Segala macam usaha dilakukan pemerintah dan instansi swasta untuk menyelamatkan lingkungan dari tumpukan limbah sampah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Program pemerintah untuk mengolah semua sampah, ternyata dimanfaatkan sebagian masyarakat menjadi peluang usaha baru yang bertujuan menyelamatkan lingkungan dari limbah sampah. Dengan munculnya peluang bisnis kreatif daur ulang limbah, dapat mengurangi jumlah limbah yang menumpuk serta memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pelaku bisnisnya. Limbah sampah yang dihasilkan masyarakat, dengan kreativitas dan inovasi dari para pelaku bisnis, limbah sampah dapat didaur ulang dan dirubah menjadi produk baru yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Limbah organik seperti kayu, dedaunan, kulit telur serta tulang hewan dapat didaur ulang dan diolah menjadi berbagai kerajinan unik atau d

Ingin Bermanfaat Lebih Banyak melalui Roncean Tasbih

Tasbih umumnya terbuat dari bahan kayu cendana dengan dominasi warna coklat, hitam atau batu fosfor warna putih yang bisa menyala. Namun, kini semakin banyak dijumpai model tasbih dengan bahan mulai mutiara imitasi, kaca hingga batu-batuan. Warnanya pun semakin beragam, kuning, hijau, biru, ungu, juga pink. Di tangan Ira Puspitasari, aneka batu-batuan, perak, mutiara imitasi atau kaca itu bisa berubah wujud menjadi roncean tasbih nan cantik. Apalagi, masih ditambah batuan Swarovski. “Apa yang saya mulai ini karena belum cukup puas dengan produk aksesoris wanita. Saya ingin bisa memberi lebih banyak manfaat bagi semua orang atas hasil karyanya. Yaitu dengan membuat tasbih unik yang dibuat dari beragam batu-batuan,” tutur Ira, Kamis (12/8). Memang, tasbih buatannya tak lepas dari hasil keisengannya dalam memadupadan aksesoris dan barang yang selama ini telah ia geluti sejak dua tahun terakhir. “Saya berpikir kalau misalnya batu-batuan ini saya padu dengan butiran tasbih kayaknya c